Never Forget Our Imprisoned Comrades!

https://www.firefund.net/prisonsoli

As in the natural world so in the social reality as well, every motion is perceived when, from the sphere of theoretical consideration it is placed within its surrounding circumstances. Therefore, in order to understand the necessity of the existence and thereby the support – or not- of the Solidarity Fund for prisoners and persecuted militants, we have to look at the socio-political situation, as well as at which level the maturity of the revolutionary movement lies at any given time.

The Solidarity Fund was established in 2010 in a situation, where on the one hand a hard capitalist restructuring was carried out under the guise of the “economic crisis” and on the other hand the radical part of the society, having very recent memories from the experience of the social revolt of December ’08, was in a boom of activities, expressing the genuine and spontaneous social rage. In those given circumstances, where the systemic restructuring entailed the upgrade of repression and the (further) legislative protection of the privileged, while the activity of all struggling parts of the society produced a multiple aggression (ranging from the vigorous workers’ solidarity, the massive clashes, the occupations of buildings and public spaces, the collective direct actions, to the armed revolutionary actions), arose the issue of the dozens of political prisoners.

Due to the upgrade of the “anti-terrorist” laws and the judiciary-repression complex mechanisms, but also bearing in mind the escalation of the revolutionary action itself, these political prisoners were now facing severe and/or lengthy sentences. This created a novel situation for the majority of the radical part of the society since the fall of the military junta (1974). The main characteristic features of this situation appeared to be its severity and duration. In this exact context the Solidarity Fund was established, setting as its initial target the consistent and constant support of those persecuted or imprisoned for their subversive actions and their participation in the social struggles.

Menakar Tanah di Negeri Sendiri dan Menggali Harapan

 

Orang-orang Kiri menganggap gerakan anti-otoritarian, khususnya adalah anarkis, adalah milik mereka yang kekanak-kanakkan atau ke-Barat-Barat-an, milik mereka yang belum memahami identitas mereka sendiri. Alasannya mudah, karena tak ada sejarah anti-otoritarian di Indonesia. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat feodal yang tak mampu bertindak tanpa komando dan kepemimpinan elit; apapun yang diagungkan oleh para penganutnya, selalu saja berupa referensi dari negeri-negeri Barat. Karenanya, anti-otoritarian, anarkis, sama sekali tak relevan di Indonesia. Tapi kini mari kita lihat, bahwa lagi-lagi orang-orang Kiri itu hanya pintar dalam satu hal: berbohong.

Sebagaimana dunia yang merupakan konsekwensi logis dari diakumulasikannya kekuasaan di tangan sedikit orang elit melebar dengan karenanya juga menuai resistensi di mana-mana dalam berbagai bentuknya. Semua resistensi tersebut hanya sedikit diketahui, utamanya karena kekuasaan dominan mengatur semuanya agar seluruh resistensi akan dilupakan dalam sejarah dan lenyap dari ingatan masyarakat. Kalaupun ada yang dibiarkan dikenang, hal tersebut akan didesain agar hanya dikenang atas kekalahannya –bukan kemenangannya.

Beberapa media membahas mengenai kebangkitan populer dan resistensi di berbagai daerah, tapi tanpa memberikan banyak pemahaman atasnya. Media-media “militan” seperti Rumah Kiri yang kini didominasi para Trotskis memang kadang mempublikasikan artikel yang terdokumentasikan dengan baik, membantu mencatat artikel tentang resistensi buruh yang terus berlangsung terhadap seluruh pengorganisasian kerja yang ditulis oleh Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), tapi juga secara tak sadar, dengan menyandingkannya bersama artikel-artikel lain yang berorientasi kekuasaan dan kestabilan sistem, hanya menjadi sebuah mekanisme untuk mengintegrasikan kembali para buruh ke dalam tatanan masyarakat saat ini. Sebagaimana dua oposisi biner dari dunia lama kembali membuktikan ketidakefektifannya, atau dengan secara sengaja tak membahas mendalam mengenai kemiskinan hidup di tataran paling mendasar, maka yang terjadi hanyalah sebuah penguburan aspirasi terhadap kehidupan yang bebas.

Sebagaimana organisasi-organisasi informal dari resistensi klasik hadir, di era awal kemerdekaan Indonesia, dengan hadirnya sejumlah aksi “kriminal” yang dalam prosesnya menjadi kritik atas kekuasaan yang terpusat; kini kita juga sesungguhnya telah menjadi saksi akan aksi-aksi yang tak jarang berbau kekerasan, yang seringkali juga dilabeli sebagai aksi “kriminal”. Dalam dua kasus tersebut, signifikansinya tidak terletak pada kekerasan atau kriminalitasnya, melainkan pada pemberontakannya yang secara potensial mengembangkan harapan positif pada mereka yang mendambakan kehidupan yang bisa dijalani dengan lebih maksimal. Menyingkirkan pendapat para pakar sejarah dan ahli ilmu sosial, kita dapat menunjuk beberapa contoh aksi yang tak bisa dimasukkan dalam kotak kategori aksi protes standar- dimana aksi hanya berupa demonstrasi march sambil membawa plakard dan spanduk, mendatangi gedung pemerintah, berteriak-teriak dengan megafon, bernegosiasi dengan representatif kekuasaan dan pulang ke rumah sambil berseru, “Kami akan datang lagi dengan massa lebih banyak!”

Sekitaran tahun 1945, di Brebes-Tegal-Pemalang, petani-petani desa yang miskin, marah dan kecewa, dimotori oleh tokoh-tokoh kriminal setempat, mulai menyerang elit-elit pedesaan, mempermalukan para bangsawan dan dalam beberapa kasus membunuhi mereka. Saat beberapa tokoh mereka ditangkapi oleh TKR (militer Indonesia yang direstui pemerintah pusat Republik yang baru berdiri), mereka membentuk badan-badan komando yang bertujuan membebaskan kawan-kawan mereka. Pada akhirnya, dihancurkan oleh militer yang beraliansi dengan kelompok-kelompok moderat Islam yang didominasi oleh kelas menengah. Para tokohnya ditangkapi, beberapa dihukum mati. Aksi yang meletup nyaris spontan tersebut, walaupun tak terorganisir baik, di sisi lain adalah sebuah pemberontakan melawan kemiskinan hidup, selain kemiskinan fisikal, dan memperlihatkan bahwa kekuasaan pusat tak relevan dengan kebutuhan nyata masyarakat di daerah.

 

Continue reading Menakar Tanah di Negeri Sendiri dan Menggali Harapan

Menyambut Gairah sang Iblis dan Meniadakan Harapan

:

Catatan: Tulisan ini tadinya merupakan introduksi lima halaman untuk sebuah buku yang berisi terjemahan dari teks-teks Bakunin yang berasal dari buku No Gods No Masters. Tapi, karena sudah hampir dua tahun belum ada tanda-tanda realisasi buku itu akan diterbitkan, penulis memutuskan untuk mengirim tulisan ini untuk diposting di blog ini. Selamat membaca!  
“Una Salus Victis Nullam Sperare Salutem” –  Vigil, The Aeineid
(Satu-satunya harapan bagi mereka yang ditaklukan adalah untuk tidak berharap sama sekali)

Tak ada satupun ideologi, apalagi yang ditelurkan pada abad-abad yang telah lalu, dapat menyelamatkan manusia dari ‘kutukannya sendiri’: peradaban kapitalisme. Mikhail Bakunin, seorang revolusioner Rusia dan bapak dari anarkisme-kolektivis, sebagai salah satu murid Hegel yang baik percaya bahwa kemajuan kolektif dari umat manusia merupakan suatu-satunya jalan menuju penyelamatan manusia dari kutukannya sendiri. Ia membuat perjanjian dengan sang Iblis guna menghabisi segenap rezim keilahian yang bertahta di muka bumi. Sang Iblis menganugerahinya gagasan tentang kesetaraan antar-manusia yang universal dan bagaikan api Prometheus, Bakunin menabuh genderang perang terhadap setiap ‘istana’ kekuasaan ilahi yang termanifestasi dalam bentuk negara-bangsa, otoritarianisme, dan beragam rezim ketuhanan yang selalu saja berkhotbah tentang penyelamatan bagi umat manusia, penyelamatan yang hanya dapat dilakukan oleh segelintir malaikat suci, seperti halnya ketika Nabi Musa yang “memimpin” kaum Yahudi untuk membebaskan diri dari perbudakan Firaun.

“Pemberontakan pertama adalah melawan tirani mutlak dari teologi, bayangan dari Tuhan. Selama kita mempunyai seorang majikan di dalam surga, maka kita akan menjadi budak di atas bumi.”

Dengan begitu, sang Iblis memberinya warisan sejarah yang akan terus bergaung hingga sekarang. Komune Paris 1871 pecah, sahabat-sahabat dekatnya, seperti Tolain dan Varlin, merupakan orang berpengaruh di Komune Paris. Sejumlah anggota Internasionale Perancis, termasuk Eugene Varlin, menerapkan gagasan kolektivisme Bakunin dan gagasan-gagasan federasi dan mutualis dari Proudhon. Pada saat ini juga Marx menulis surat pada Varlin, sebagai salah satu pimpinan Komune, namun anjuran-anjuran Marx sama sekali tidak direspon, sama seperti upayanya yang gagal pada tahun-tahun sebelumnya untuk mengambil pengaruh anggota Internasionale di Perancis.

Komune Paris 1871 menjadi satu percontohan sejarah tentang bagaimana masyarakat yang diatur dari bawah ke atas dan dikontrol oleh rakyat itu sendiri—tanpa adanya negara dan gereja!—menjadi sesuatu yang mungkin dan bukan sekadar utopia semata. Namun, sang Iblis hanya memberi Bakunin satu kesempatan. Komune pun luluh-lantak dalam rentang waktu beberapa bulan, ketika Ia dikepung oleh pasukan Prussia dan para penguasa lokal yang telah kembali menduduki Versailles. Kerajaan Allah telah bersekongkol melawan kemanusiaan. Para Communard (sebutan bagi orang-orang Komune Paris, khususnya mereka yang terlibat sampai titik darah penghabisan), yang menolak untuk menyerah, dihabisi tanpa ampun, dan Paris pun menjadi kuburan massal para Communard.

Apakah sang Iblis telah meninggalkan Bakunin? Sang Iblis yang Ia juluki sebagai pemberontak pertama, sebagai anti-tesis dari ketuhanan, sang Iblis yang telah memberikannya kekuatan negatif yang begitu besar. Namun demikian, sang Iblis juga tak pernah menjanjikan apapun. Tak ada kata harapan dalam kamus sang Iblis. Bakunin memahami ini. Oleh karena itu, dalam setiap petualangan, pemberontakan, dan pelarian-nya dari penjara Rusia yang fenomenal itu, Bakunin tidak menaruh harapan pada apapun selain dirinya sendiri.

Ketika Sang Iblis dan Bakunin Telah Pergi

Dalam pencarian kita akan penyelamatan dari setiap absurditas dunia modern, atau apa yang disebut Bakunin sebagai majikan surgawi yang menguasai bumi, yang mengancam eksistensi kita setiap harinya, hal yang harus kita hilangkan sama sekali  adalah berharap untuk mendapatkan penyelamatan. Apa yang harus kita cari, sebagaimana yang ditemukan Bakunin, adalah gairah atau penemuan kembali dari gairah. Sejumlah individu telah menemukan dan menjadikan gairah sebagai senjata yang paling berbahaya untuk melawan dunia yang menghamba pada uang dan otoritas. Bakunin dan Courderoy, para iblis abad 19, mengungkapkan suatu “gairah kejam yang bebas dari belenggu apapun.”

Continue reading Menyambut Gairah sang Iblis dan Meniadakan Harapan

Seek and Destroy Eco-Extremism Everywhere: A Joint Statement of Individualist Network and Indonesian Anarchist Black Cross (Indonesia)

“He who fights with monsters should look to it that he himself does not become a monster. And if you gaze long into an abyss, the abyss also gazes into you.”
– Beyond Good and Evil

Background

We know that there is no eco-extremist tendency in Indonesia, although past statements from FAI cells tended to have some merit concerning the general hostility against the social and leftist anarchist moralities concerning violence, destruction, and the fetish of organization. To be honest, we don’t have illusions when we talk, write, or act against our enemy using any means possible. Attacking the state and capitalism is essential for anarchists of all tendencies (we’re going to ignore the pacifist tendency as it needs a different context of discussion), although this is a joint statement involving a wide range of tendencies of anarchists, most of us don’t have this nonsense liberal point of view toward violence against the system and the people who defend, maintain, and materalise it in everyday life. Some individuals in our network maintain their anti-civ and post-leftist stance while others found some aspects of social anarchism are necessary in organizing the disruption of the machine.

Our intention of this statement is to join the front against the eco-extremist tendency that has been given platform by the self-labeled ‘nihilist-anarchists’ in the US and Europe, from our sources we know that most of these individuals who endorse EE and keep continuing in giving them platform are using absurd reasoning and it’s post-modernist at best- we will discuss about this more below. It is funny though that most of the individuals in our network evolved from anti-civ and post-leftist discourses, even some of us have translated the writings of authors in AJODA: A Journal of Desire Armed (yes, including that boyfriend of ITS, Aragorn!). The critiques of the leftist movement have been useful in identifying the decadence of leftist populism in our territory, their dead-end strugglism and their social democratic tendency which aims to make “a more humanist capitalism,” therefore we find it obscure when the recent eco-extremists were using the terms “humanism”, “morality”, and even “sectarianism” in their absolutist communiques as if the corpse of Nechaev Jesuitism was resurfacing again.

Are We Storming the Same Heavens?

From their communiques and texts it is clear that most of these individuals don’t really have any actual experiences of consistent anarchic struggle in real life. Our experiences in whatever forms in our past actions have sometimes created a spontaneous solidarity with different tendencies of anarchists, where labels and dichotomies of adjectives were not that relevant. We found solidarity sometimes in the most unexpected way, even with those adherents of Murray Bookchin and those anarcho-syndicalists that we used to make jokes about. For us, this is a proof that when your fellow anarchists are fighting, for the ideas that you yourself also believed in but they were in a weak situation, then we cast aside all of our labels to divide each other and help each other out instead, because that’s what we really understand about being anarchists. Sure, there’s this never-ending drama, power struggle, and all of those aspects of the “movement” or “anarchist space” that the Eco-extremists seemed to be so proud in ridiculing (Anarchist Myth), like it had never been done before. The Eco-extremists were proclaiming that their holy sect doesn’t have such stupidity and they were composed of very dedicated individuals (priest-like posturing) who don’t share any of these weaknesses. It’s an almost superhuman characterization of themselves.

Continue reading Seek and Destroy Eco-Extremism Everywhere: A Joint Statement of Individualist Network and Indonesian Anarchist Black Cross (Indonesia)

Mengungkap Art Cabrera! (Mengungkap Gereja ITS BAG I)

Mari kembali menyingkap tirai dari apa yang disebut dan mengklaim “Mafia Eko-Ekstrimis” dan memaparkan Infor mengenai mereka melalui kontak kami. Melacak dan mengumpulkan informasi tentang musuh-musuh otoriter, fasis, reaksioner, dan irasional, bagi kami adalah bagian dari kegiatan kami sebagai anarkis. “Mafia” ini mengatakan bahwa mereka telah bersembunyi dalam bayang-bayang untuk waktu yang lama, yang sebenarnya dimaksud bayang-bayang adalah bersembunyi di balik lemari dengan amplop, kertas, pena dan komputer.

“Art Cabrera” adalah Arturo Vasquez. Siapa “Art Cabrera”? Ia adalah editor dari jurnal eko-fasis Atassa, yang merupakan versi bahasa Inggris dari Gereja ITS Mexico, ‘Individualists Tending Towing the Wild’.

Vasquez, seonggok sampah yang bertanggung jawab untuk menerjemahkan dan menyebarkan apa yang disebut ‘Ekologi Ekstrimis’ dari Amerika Serikat, sedang mencoba untuk memajukan doktrin reaksionernya sambil menjalani kehidupan ganda yang benar-benar palsu dan tidak otentik. Kami bersuka cita untuk mempublikasikan nama aslinya, foto dan detail kontak tempat kerjanya hanya agar dia kerepotan, mau itu kecil atau besar. Karena Vasquez selalu sangat senang melayani Gereja ITS. Menghasut ancaman pembunuhan terhadap rekan-rekan anarkis kami dan meyakini dia tak tersentuh, kami sangat senang melakukan doxxing kepadanya. Ini adalah perusahaan tempat dia bekerja dalam kehidupan aslinya, dan jelas cukup jelas bahwa ia bukanlah seorang yang sungguh seperti apa yang ia paparkan dalam jurnalnya:

https://www.david-ware.com/About-Our-Paralegals.shtml

Mungkin beberapa kawan anti-fasis dan anarkis di Amerika ingin menghubungi tempat kerjanya dan istrinya untuk memperingatkannya bahwa dia adalah anggota berbahaya dari “Mafia Eko-Ekstremis”, semua rincian kontak mereka dapat ditemukan di sana.

Arturo berprofesi sebagai paralegal. Jika dia tidak sepenuhnya berbohong, pekerjaan hariannya seharusnya menjadi pekerjaan hukum bagi para migran, tetapi dia mengklaim dia memilih Trump. Mengingat infus spionase perusahaan belakangan ini, sama mungkinnya seperti troll seperti Arturo mungkin juga menjadi mata-mata perusahaan, sebagai seorang otoritarian dengan penuh tipu daya. Menurut situs web tempat kerja dari kehidupan aslinya, Vasquez lulus dari University of California, Berkeley dengan gelar Sarjana dalam Studi Amerika Latin, dan ia bekerja terutama di bidang hukum imigrasi. Ini juga menyebutkan bahwa Vasquez menghabiskan banyak waktu di Meksiko dan Argentina, dan fasih berbahasa Spanyol, yang tentunya cocok dengan gambaran lulusan Universitas Berkeley yang bepergian ke luar negeri dan menganggap dirinya agak pintar.

Bahwa bajingan Katolik yang sederhana, jelek, botak, berleher lemak ini telah meyakinkan beberapa orang yang menyebut diri sebagai ‘anarkis’ dan ‘nihilis’ untuk bergabung dengan Paduan Suara ITS itu lucu. Inilah yang Aragorn dan LBC bersedia untuk bekerjasama. Arturo Vasquez adalah pecundang dan harus digunakan sebagai target latihan. Ditembak, ditikam, dipukuli, dibakar, apa saja. Datanglah ke Eropa, Arturo, dalam tur berbicara dan promosikan buku Anda, mari kita lihat apa yang akan terjadi pada Anda. Mungkin ada beberapa anarkis di dekat sini yang bersedia untuk “melepas penderitaanmu”, dasar limbah misanthropik!

Dan, seperti yang diduga oleh sebagian besar dari kita, editor Atassa adalah seorang Katolik, mantan penganut Teologi Pembebasan, dengan latar belakang Marxis. Istri Arturo bekerja di biro hukum yang sama, namanya Anitra. Rupanya, anak-anak Anitra maupun Vasquez tidak tahu tentang kehidupan “mafia” eko-fasis online-nya sama sekali. Anitra belajar Biomedical Engineering di Texas A & M University dan memiliki gelar doktor di Neurobiology dari University of Chicago. Bukankah absurd bahwa bidang yang mereka geluti sama dengan apa yang ditargetkan ITS di Meksiko?

Mungkin Arturo menginginkan istrinya mati, diperkosa atau cacat dalam kehidupan rahasianya.

Arturo, mungkin inilah waktunya untuk memberi tahu istri Anda Anitra dan anak-anak Anda bahwa Anda percaya pada budaya perkosaan, pembunuhan wanita, dan teror tanpa pandang bulu atas nama konsep religius terbaru Anda: Alam Liar. Atau apakah Anitra sudah tahu Anda memiliki ‘Wild Nature’, seorang Janus? Adakah hal lain yang masih belum kita ketahui mengenai hidup ganda seorang Arturo ini? Mari kita cari tahu.

L,

325.nostate.net

L.

Informasi “Snitch”: Achmad Azwar Darmawan

 

“Kamu tahu satu hal yang menyedihkan tentang pengkhianatan? Karena pengkhianatan biasanya dilakukan bukan oleh musuh kita sendiri.” -anonim

snitch: Seorang pengadu. (Dalam konteks ini mengadu dan memberikan informasi kepada pihak kepolisian)

Achmad Azwar Darmawan adalah salah satu dari orang-orang yang tertangkap akibat kasus M1 2018 (singkatan tanggal 1 Mei: May Day) di Yogyakarta. Dirinya sendiri dan tiga orang lainnya ditangkap pada saat melakukan pelarian di Bogor, mereka dituduh sebagai penulis kalimat anti-monarki yang membuat gusar banyak pihak. Tetapi yang di tetapkan sebagai tersangka hanya dua orang termasuk Achmad Azwar Darmawan (Azwar) sedangkan dua orang lainnya dibebaskan. Perlu dijelaskan bahwa kesepakatan pelarian dan lebih khususnya terkait aksi M1 di Yogyakarta dilakukan berdasarkan kesadaran individu maupun afinitias atau kelompok yang dimana masing-masing partisipan aksi dipercaya untuk mengemban prinsip bahwa keputusan aksi tersebut merupakan kesepakatan bersama (baca: tanpa pemimpin).
Kesepakatan di antara para partisipan M1, khususnya yang memakai pakaian hitam-hitam, sungguh berbeda dengan kaum kiri ataupun kelompok otoritarian lainnya yang biasanya digerakkan oleh partai atau komando sentral tertentu yang bersifat hirarkis. Tidak ada aktor intelektual atau seperti apa yang disebut dan dituding oleh saudara Azwar perihal siapa yang menyuruh dan membuat inisiatif.

Azwar sendiri telah terlibat banyak dalam pengorganisiran selama beberapa tahun di Yogyakarta terkait penolakan NYIA (New Yogyakarta International Airport) dan Perpustakaan Jalanan Yogyakarta. Menurut kami dia telah memiliki pengalaman ataupun pemahaman cukup perihal keputusan yang ia buat dan aksi yang ia lakukan. Namun kabar buruknya adalah, setelah beberapa kawan berhasil mengakses BAP (Berita Acara Pemeriksaan) saudara Azwar, didapatkan bukti-bukti bahwa Azwar sangat kooperatif dengan pihak kepolisian dan penyidik hingga ke taraf menyebutkan kawan-kawan, nama, dan bahkan lokasi (safehouse). Implikasi yang terdapat di dalam BAP Azwar dapat disimpulkan bahwa ia rela memberikan kebohongan perihal banyak hal dan menuduh orang-orang yang sebenarnya tidak pernah terlibat koordinasi dengan dia ketika M1. Sampai sekarang ini beberapa kawan berusaha memahami apa motif Azwar sebenarnya. Ada yang mengatakan sentimen personal, tapi ini juga masih merupakan asumsi. Namun satu hal yang pasti adalah, Azwar jelas sekali punya pilihan untuk menyebut dirinya sendiri sebagai seseorang yang mengambil inisiatif dalam mengambil tindakan, tapi justru dia memilih untuk menargetkan orang-orang yang sama sekali tidak berkomunikasi ataupun terlibat bersamanya. Hal ini sudah cukup menerangkan bahwa saudara Azwar dengan begitu pengecutnya tidak mau mengambil tanggung jawab atas aksi yang ia pilih untuk lakukan, tapi lebih memilih untuk menyalahkan dan membeberkan nama-nama kawan lainnya.

Dengan pernyataan ini, kami dengan senang hati membocorkan beberapa hal yang telah Ia katakan kepada pihak kepolisian terkait aksi M1 di Yogyakarta. Tentu saja Azwar telah bertindak untuk kepentingan dirinya sendiri dan melupakan ide solidaritas ataupun ide untuk menutup mulut terkait jaringan-jaringan kerja yang dibuat, karena akan membahayakan kawan-kawan untuk melakukan jaringan kerja mereka yang lainnya.

Azwar, seorang mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan, dengan jelas telah membuktikan atau menunjukan sifat-sifat “kelas menengah”-nya, seorang wanna-be aktivis yang dipenuhi emblem dan slogan teriakan ACAB (YA, MAKSUDNYA ADALAH SEMUA POLISI ITU BANGSAT), yang ketika tertangkap bersedia untuk bekerjasama dengan pihak kepolisian guna membungkam atau bahkan membuat beberapa kawan-kawan terancam untuk diburu dan di penjara atas kebohongan saudara Azwar.

“Persatuan Kiri = Gulag”

(Di bawah ini merupakan ketikan ulang dari beberapa poin BAP saudara Azwar)
19. Apakah saudara mengetahui rencana molotov yang saudara buat tersebut untuk digunakan apa? Jelaskan!

A: Saya tidak tahu. Saya tahunya hanya meracik saja, sedangkan alasannya tidak tahu. Yang saya tahu sdr ****

20. Saudara menerangkan di atas bahwa yang membuat ide molotov adalah sdr. *** alamat dekat kampus UGM (****Cafe) Yogyakarta, darimanakah saudara mengetahui yang mempunyai ide membuat molotov adalah saudara ***, jelaskan!

A: Benar saya mengetahui yang mempunyai ide molotov adalah sdr *** adalah saya mendengar ada yang bicara yaitu pada saat saya dengan meracik molotov

22. Bagaimana ciri-ciri saudara *** ?

****************************************************** (menjelaskan dengan detil–ed)

23. Coba saudara ceritakan kronologi?

Pada hari selasa 1 Mei 2018 dini hari sayabersama *** menuju rumah kontrakannya Di ************* dengan menggunakan sepeda motor sendiri-sendiri, sesampainya di kontrakan ternyata di ruang tengah sudah banyak orang dan salah satu yang saya kenal ***** beralamat di Sala***, terus saya dan ****i diajak ke kamar belakang dan sampai di kamar belakang sudah banyak botol …….
lalu **** meminta saya untuk meracik buat molotov…..

….Pada saat saya meracik saya mendengar bahwa inisiatif membuat molotov adalah dari sdr. ****

Kemudian pada hari selasa 01 Mei 2019 sekira 13.00 saya bangun tidur dan terus mandi dan sekitar jam 14.00 Wib saya ke UIN Sunan Kalijaga naik Go Jek dan sesampainya di sana demonstrasi sudah dimulai, terus saya mencoba mencari R**** TAPI TIDAK KETEMU.

Tidak lama kemudian saya melihat ada peserta Demo merusak pos polantas yang ada di pertigaan UIN lalu (seorang peserta memnberi saya molotov)* dan saya lempar ke POS lalu lintas.
24. Saudara menerangkan di atas bahwa setelah saudara menyalakan molotov kedua dan lempar ke arah Pos lalu lintas tersebut, kemudian saudara memberi kabar teman-teman Group Whatsapp yang bernama IWD (International Woman Day) lalu saya ketik “MAU CAOS”, apa maksudnya anda mengirim Whatsapp tersebut, jelaskan!
A: Saya hanya bercanda saja di dalam grup.

27. Apakah saudara mengetahu tempat tinggal saudara *** dan ***? Jelaskan!
A: Benar saya tidak mengetahui alamat tempat tinggal sdr. *** dan sdr. ***, saya hanya mengetahui alamat kontrakan sdr. **** yaitu di *** C*** *** sedangkan saudara *** saya tidak tahu.

————–

* <—ini digunakan untuk tidak mengungkap kawan-kawan maupun lokasi yang telah disebut oleh saudara Azwar.

Buda’ Podcast is a new project from Pontianak, West Kalimantan!

Buda'(buda’ is kids in Pontianak Malay language) Podcast is a podcast by two boys from Pontianak, West Kalimantan – Indonesia. The podcast will published online at least once in three weeks, more or less. This podcast will give a you a conversation by us with guest, talking about various topics around music, creative art, literacy, and ideology.

Please contribute and collaborate with us. You can give critics or advice. You can send us your songs or books and zines to be reviewed. You can give us interesting ideas to discussed.

Contact us by write a response in the comment box or through our Soundcloud account.

The first episode of a local Podcast in Pontianak, Indonesia. This episode discusses about Anarchism, History of Anarchism in Indonesia, Anarchist Black Cross, Prison Strike, and Anarchism Literature with Tobi Ventura Bonano member of Palang Hitam Indonesia/Indonesia Anarchist Black and Anarchist Individualist Network Yogyakarta.

https://soundcloud.com/budapodcast/buda-podcast-ep1-ngobrol-anarkis-bers…

More information,
budapodcast.wordpress.com

Not Ideological Solidarity but Critical Revolutionary Solidarity: A Personal Reflection of Yogyakarta/Indonesia Anarchist Black Cross (Palang Hitam)*

Not Ideological Solidarity but Critical Revolutionary Solidarity: A Personal Reflection of Yogyakarta/Indonesia Anarchist Black Cross (Palang Hitam)*

Knowledge chooses its project,
each project is new and chooses its moments,
each moment is new, but simultaneously emerges from
the memory of all the moments that existed before

  • The Interior of the Absolute

*It is fair to say that the Black Cross were initiated after the May Day event in Yogyakarta 2018, a demonstration/blockades that ended up in a riot between the so-called “local people” and the demonstrators (many, even the so-called Student Organization involved in the organizing blamed the Black Clad anarchists for igniting the riot and provoked property destruction, and to their surprised the graffiti that call to “Kill the Sultan”, until now there have been no one claimed this). Therefore, even Palang Hitam now are progressing their activities to other places and helping other revolutionaries who are facing the same legal consequences or just being in the grassroots conflict to provide medical aid, its “over-lapping” solidarity still meant that Palang Hitam were originated, initiated, and activated by the comrades who are “on the list” (of the powers that be) and those who are completely not on the list but decided to actively participated. So, in order to specified the location of these comrades, mainly central java, it is fair to say that Palang Hitam is Palang Hitam Yogyakarta or Central Java.

What being said in this short critical reflection are based on specific geographical and historical understanding of the anarchist movement or the revolutionary movement of individuals against state and capitalism in Indonesia. There’s no need to say about the contrast between our geographical location and our comrades in the west and those who are also in the global south, especially considering prison solidarity in its historic sense. Indonesia, have plenty of oral history about prison rebellion and rebellious individuals, but these were almost never written, these were almost like mythopoesis among criminals for generation and some even become so legendary that it always inspired rebellion each time there’s a prisoner get beaten very severely or until they die. It is obvious there’s almost no official history of them because, who want to write about these violent, lawless, and cool individuals? Even the so-called radical academics tend to avoid this subject.

While in Spain we know histories such as Grappo and their resistance and individuals such as Xose Tarrio Gonzales, we surely have the latter but the former, such as a coordinated organization inside prison and outside, was never really a history here. Or in Greece, where the CCF and other organization such as ex of 17N and Revolutionary Struggle have been doing their part in making escapes, rebellion, and even a plot to destroy the prison completely to free their comrades.

In Indonesia (although it is better just to focus it in Java, because there are different dynamics such as in West Papua or other parts of archipelagos regarding solidarity action), what the populist-leftist movement inherited to us after the fall of New Order regime, were just bitter pills of every revolutionary students each time they got arrested and most of these leftist organization abandoned these individuals. Though it is not better for the anarchist movement either regarding this situation, such as in 2011 where two anarchists were arrested and the “movement” silenced themselves, deciding that the action that was carried out (arson against atm bank) were counter-productive to their public organizing. What legacy did this populist leftist or the anarchist movement give to the younger ones regarding prisoner solidarity? An endless stupidity of not knowing how the legal system work, how advocacy work, and why you should not be afraid of being arrested (there were cases where self-labeled anarchists went into hiding even though the charges or the case were very specific that it is impossible for them to be arrested) or why you should go underground, and why you the imprisoned comrades should not afraid of making open letter to the comrades in national and international. These are the homework for Palang Hitam and all another revolutionary movement that seek to destroy capitalism and state using whatever strategy they see fit, that is to understand how the legal system works and how to get around it to ease or makes our imprisoned comrades more confident in their convictions. It also includes the choice that they wanted to make, because it is their choice, not the people/organization/movement have the rights to dictates it to them. Thus, the “unconsciousness” of the wanna-be insurgent wherever they understand the legal consequences of their action. And note this: no movement who are seeking to overthrow the capitalist system seriously are safe from the state backlash. The state is not neutral, police and investigators are not going to save you from their web of law, because they are a mere server or the attack dogs of the rulers and capitalists.

Don’t expect something less, expect and anticipate more repression when you already attack them. Remember, you’re not fighting bullies, you’re fighting a thousand years of an advanced civilization that managed and developed the techniques to control and pacify you each time they consider yourself or your movement a threat.

Continue reading Not Ideological Solidarity but Critical Revolutionary Solidarity: A Personal Reflection of Yogyakarta/Indonesia Anarchist Black Cross (Palang Hitam)*

Dua Publikasi Tentang Anarkisme Belarusia, Ukraina, Russia.

Dua publikasi baru dalam bahasa Inggris. “Pemerintah Rusia, seperti rezim otoriter lainnya, tidak dapat ada tanpa citra musuh, eksternal atau internal. Tetapi orang-orang sejak zaman Soviet telah terbiasa dengan “ancaman Barat” yang abadi dan mata-matanya. Oleh karena itu, masyarakat semakin didorong ke jarum pembantaian brutal “kekuatan musuh publik”. Untuk tujuan ini, topik ekstremisme secara aktif dipromosikan dan “musuh” baru dicap. ”

 

  1. Video Anarkis Militan di Belarusia, Ukraina, dan Russia https://a2day.net/radical-anarchists-in-the-bur-2008-2017/
  2. Network Underground: https://a2day.net/network-underground/