Seek and Destroy Eco-Extremism Everywhere: A Joint Statement of Individualist Network and Indonesian Anarchist Black Cross (Indonesia)

“He who fights with monsters should look to it that he himself does not become a monster. And if you gaze long into an abyss, the abyss also gazes into you.”
– Beyond Good and Evil

Background

We know that there is no eco-extremist tendency in Indonesia, although past statements from FAI cells tended to have some merit concerning the general hostility against the social and leftist anarchist moralities concerning violence, destruction, and the fetish of organization. To be honest, we don’t have illusions when we talk, write, or act against our enemy using any means possible. Attacking the state and capitalism is essential for anarchists of all tendencies (we’re going to ignore the pacifist tendency as it needs a different context of discussion), although this is a joint statement involving a wide range of tendencies of anarchists, most of us don’t have this nonsense liberal point of view toward violence against the system and the people who defend, maintain, and materalise it in everyday life. Some individuals in our network maintain their anti-civ and post-leftist stance while others found some aspects of social anarchism are necessary in organizing the disruption of the machine.

Our intention of this statement is to join the front against the eco-extremist tendency that has been given platform by the self-labeled ‘nihilist-anarchists’ in the US and Europe, from our sources we know that most of these individuals who endorse EE and keep continuing in giving them platform are using absurd reasoning and it’s post-modernist at best- we will discuss about this more below. It is funny though that most of the individuals in our network evolved from anti-civ and post-leftist discourses, even some of us have translated the writings of authors in AJODA: A Journal of Desire Armed (yes, including that boyfriend of ITS, Aragorn!). The critiques of the leftist movement have been useful in identifying the decadence of leftist populism in our territory, their dead-end strugglism and their social democratic tendency which aims to make “a more humanist capitalism,” therefore we find it obscure when the recent eco-extremists were using the terms “humanism”, “morality”, and even “sectarianism” in their absolutist communiques as if the corpse of Nechaev Jesuitism was resurfacing again.

Are We Storming the Same Heavens?

From their communiques and texts it is clear that most of these individuals don’t really have any actual experiences of consistent anarchic struggle in real life. Our experiences in whatever forms in our past actions have sometimes created a spontaneous solidarity with different tendencies of anarchists, where labels and dichotomies of adjectives were not that relevant. We found solidarity sometimes in the most unexpected way, even with those adherents of Murray Bookchin and those anarcho-syndicalists that we used to make jokes about. For us, this is a proof that when your fellow anarchists are fighting, for the ideas that you yourself also believed in but they were in a weak situation, then we cast aside all of our labels to divide each other and help each other out instead, because that’s what we really understand about being anarchists. Sure, there’s this never-ending drama, power struggle, and all of those aspects of the “movement” or “anarchist space” that the Eco-extremists seemed to be so proud in ridiculing (Anarchist Myth), like it had never been done before. The Eco-extremists were proclaiming that their holy sect doesn’t have such stupidity and they were composed of very dedicated individuals (priest-like posturing) who don’t share any of these weaknesses. It’s an almost superhuman characterization of themselves.

Continue reading Seek and Destroy Eco-Extremism Everywhere: A Joint Statement of Individualist Network and Indonesian Anarchist Black Cross (Indonesia)

Informasi “Snitch”: Achmad Azwar Darmawan

 

“Kamu tahu satu hal yang menyedihkan tentang pengkhianatan? Karena pengkhianatan biasanya dilakukan bukan oleh musuh kita sendiri.” -anonim

snitch: Seorang pengadu. (Dalam konteks ini mengadu dan memberikan informasi kepada pihak kepolisian)

Achmad Azwar Darmawan adalah salah satu dari orang-orang yang tertangkap akibat kasus M1 2018 (singkatan tanggal 1 Mei: May Day) di Yogyakarta. Dirinya sendiri dan tiga orang lainnya ditangkap pada saat melakukan pelarian di Bogor, mereka dituduh sebagai penulis kalimat anti-monarki yang membuat gusar banyak pihak. Tetapi yang di tetapkan sebagai tersangka hanya dua orang termasuk Achmad Azwar Darmawan (Azwar) sedangkan dua orang lainnya dibebaskan. Perlu dijelaskan bahwa kesepakatan pelarian dan lebih khususnya terkait aksi M1 di Yogyakarta dilakukan berdasarkan kesadaran individu maupun afinitias atau kelompok yang dimana masing-masing partisipan aksi dipercaya untuk mengemban prinsip bahwa keputusan aksi tersebut merupakan kesepakatan bersama (baca: tanpa pemimpin).
Kesepakatan di antara para partisipan M1, khususnya yang memakai pakaian hitam-hitam, sungguh berbeda dengan kaum kiri ataupun kelompok otoritarian lainnya yang biasanya digerakkan oleh partai atau komando sentral tertentu yang bersifat hirarkis. Tidak ada aktor intelektual atau seperti apa yang disebut dan dituding oleh saudara Azwar perihal siapa yang menyuruh dan membuat inisiatif.

Azwar sendiri telah terlibat banyak dalam pengorganisiran selama beberapa tahun di Yogyakarta terkait penolakan NYIA (New Yogyakarta International Airport) dan Perpustakaan Jalanan Yogyakarta. Menurut kami dia telah memiliki pengalaman ataupun pemahaman cukup perihal keputusan yang ia buat dan aksi yang ia lakukan. Namun kabar buruknya adalah, setelah beberapa kawan berhasil mengakses BAP (Berita Acara Pemeriksaan) saudara Azwar, didapatkan bukti-bukti bahwa Azwar sangat kooperatif dengan pihak kepolisian dan penyidik hingga ke taraf menyebutkan kawan-kawan, nama, dan bahkan lokasi (safehouse). Implikasi yang terdapat di dalam BAP Azwar dapat disimpulkan bahwa ia rela memberikan kebohongan perihal banyak hal dan menuduh orang-orang yang sebenarnya tidak pernah terlibat koordinasi dengan dia ketika M1. Sampai sekarang ini beberapa kawan berusaha memahami apa motif Azwar sebenarnya. Ada yang mengatakan sentimen personal, tapi ini juga masih merupakan asumsi. Namun satu hal yang pasti adalah, Azwar jelas sekali punya pilihan untuk menyebut dirinya sendiri sebagai seseorang yang mengambil inisiatif dalam mengambil tindakan, tapi justru dia memilih untuk menargetkan orang-orang yang sama sekali tidak berkomunikasi ataupun terlibat bersamanya. Hal ini sudah cukup menerangkan bahwa saudara Azwar dengan begitu pengecutnya tidak mau mengambil tanggung jawab atas aksi yang ia pilih untuk lakukan, tapi lebih memilih untuk menyalahkan dan membeberkan nama-nama kawan lainnya.

Dengan pernyataan ini, kami dengan senang hati membocorkan beberapa hal yang telah Ia katakan kepada pihak kepolisian terkait aksi M1 di Yogyakarta. Tentu saja Azwar telah bertindak untuk kepentingan dirinya sendiri dan melupakan ide solidaritas ataupun ide untuk menutup mulut terkait jaringan-jaringan kerja yang dibuat, karena akan membahayakan kawan-kawan untuk melakukan jaringan kerja mereka yang lainnya.

Azwar, seorang mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan, dengan jelas telah membuktikan atau menunjukan sifat-sifat “kelas menengah”-nya, seorang wanna-be aktivis yang dipenuhi emblem dan slogan teriakan ACAB (YA, MAKSUDNYA ADALAH SEMUA POLISI ITU BANGSAT), yang ketika tertangkap bersedia untuk bekerjasama dengan pihak kepolisian guna membungkam atau bahkan membuat beberapa kawan-kawan terancam untuk diburu dan di penjara atas kebohongan saudara Azwar.

“Persatuan Kiri = Gulag”

(Di bawah ini merupakan ketikan ulang dari beberapa poin BAP saudara Azwar)
19. Apakah saudara mengetahui rencana molotov yang saudara buat tersebut untuk digunakan apa? Jelaskan!

A: Saya tidak tahu. Saya tahunya hanya meracik saja, sedangkan alasannya tidak tahu. Yang saya tahu sdr ****

20. Saudara menerangkan di atas bahwa yang membuat ide molotov adalah sdr. *** alamat dekat kampus UGM (****Cafe) Yogyakarta, darimanakah saudara mengetahui yang mempunyai ide membuat molotov adalah saudara ***, jelaskan!

A: Benar saya mengetahui yang mempunyai ide molotov adalah sdr *** adalah saya mendengar ada yang bicara yaitu pada saat saya dengan meracik molotov

22. Bagaimana ciri-ciri saudara *** ?

****************************************************** (menjelaskan dengan detil–ed)

23. Coba saudara ceritakan kronologi?

Pada hari selasa 1 Mei 2018 dini hari sayabersama *** menuju rumah kontrakannya Di ************* dengan menggunakan sepeda motor sendiri-sendiri, sesampainya di kontrakan ternyata di ruang tengah sudah banyak orang dan salah satu yang saya kenal ***** beralamat di Sala***, terus saya dan ****i diajak ke kamar belakang dan sampai di kamar belakang sudah banyak botol …….
lalu **** meminta saya untuk meracik buat molotov…..

….Pada saat saya meracik saya mendengar bahwa inisiatif membuat molotov adalah dari sdr. ****

Kemudian pada hari selasa 01 Mei 2019 sekira 13.00 saya bangun tidur dan terus mandi dan sekitar jam 14.00 Wib saya ke UIN Sunan Kalijaga naik Go Jek dan sesampainya di sana demonstrasi sudah dimulai, terus saya mencoba mencari R**** TAPI TIDAK KETEMU.

Tidak lama kemudian saya melihat ada peserta Demo merusak pos polantas yang ada di pertigaan UIN lalu (seorang peserta memnberi saya molotov)* dan saya lempar ke POS lalu lintas.
24. Saudara menerangkan di atas bahwa setelah saudara menyalakan molotov kedua dan lempar ke arah Pos lalu lintas tersebut, kemudian saudara memberi kabar teman-teman Group Whatsapp yang bernama IWD (International Woman Day) lalu saya ketik “MAU CAOS”, apa maksudnya anda mengirim Whatsapp tersebut, jelaskan!
A: Saya hanya bercanda saja di dalam grup.

27. Apakah saudara mengetahu tempat tinggal saudara *** dan ***? Jelaskan!
A: Benar saya tidak mengetahui alamat tempat tinggal sdr. *** dan sdr. ***, saya hanya mengetahui alamat kontrakan sdr. **** yaitu di *** C*** *** sedangkan saudara *** saya tidak tahu.

————–

* <—ini digunakan untuk tidak mengungkap kawan-kawan maupun lokasi yang telah disebut oleh saudara Azwar.

Not Ideological Solidarity but Critical Revolutionary Solidarity: A Personal Reflection of Yogyakarta/Indonesia Anarchist Black Cross (Palang Hitam)*

Not Ideological Solidarity but Critical Revolutionary Solidarity: A Personal Reflection of Yogyakarta/Indonesia Anarchist Black Cross (Palang Hitam)*

Knowledge chooses its project,
each project is new and chooses its moments,
each moment is new, but simultaneously emerges from
the memory of all the moments that existed before

  • The Interior of the Absolute

*It is fair to say that the Black Cross were initiated after the May Day event in Yogyakarta 2018, a demonstration/blockades that ended up in a riot between the so-called “local people” and the demonstrators (many, even the so-called Student Organization involved in the organizing blamed the Black Clad anarchists for igniting the riot and provoked property destruction, and to their surprised the graffiti that call to “Kill the Sultan”, until now there have been no one claimed this). Therefore, even Palang Hitam now are progressing their activities to other places and helping other revolutionaries who are facing the same legal consequences or just being in the grassroots conflict to provide medical aid, its “over-lapping” solidarity still meant that Palang Hitam were originated, initiated, and activated by the comrades who are “on the list” (of the powers that be) and those who are completely not on the list but decided to actively participated. So, in order to specified the location of these comrades, mainly central java, it is fair to say that Palang Hitam is Palang Hitam Yogyakarta or Central Java.

What being said in this short critical reflection are based on specific geographical and historical understanding of the anarchist movement or the revolutionary movement of individuals against state and capitalism in Indonesia. There’s no need to say about the contrast between our geographical location and our comrades in the west and those who are also in the global south, especially considering prison solidarity in its historic sense. Indonesia, have plenty of oral history about prison rebellion and rebellious individuals, but these were almost never written, these were almost like mythopoesis among criminals for generation and some even become so legendary that it always inspired rebellion each time there’s a prisoner get beaten very severely or until they die. It is obvious there’s almost no official history of them because, who want to write about these violent, lawless, and cool individuals? Even the so-called radical academics tend to avoid this subject.

While in Spain we know histories such as Grappo and their resistance and individuals such as Xose Tarrio Gonzales, we surely have the latter but the former, such as a coordinated organization inside prison and outside, was never really a history here. Or in Greece, where the CCF and other organization such as ex of 17N and Revolutionary Struggle have been doing their part in making escapes, rebellion, and even a plot to destroy the prison completely to free their comrades.

In Indonesia (although it is better just to focus it in Java, because there are different dynamics such as in West Papua or other parts of archipelagos regarding solidarity action), what the populist-leftist movement inherited to us after the fall of New Order regime, were just bitter pills of every revolutionary students each time they got arrested and most of these leftist organization abandoned these individuals. Though it is not better for the anarchist movement either regarding this situation, such as in 2011 where two anarchists were arrested and the “movement” silenced themselves, deciding that the action that was carried out (arson against atm bank) were counter-productive to their public organizing. What legacy did this populist leftist or the anarchist movement give to the younger ones regarding prisoner solidarity? An endless stupidity of not knowing how the legal system work, how advocacy work, and why you should not be afraid of being arrested (there were cases where self-labeled anarchists went into hiding even though the charges or the case were very specific that it is impossible for them to be arrested) or why you should go underground, and why you the imprisoned comrades should not afraid of making open letter to the comrades in national and international. These are the homework for Palang Hitam and all another revolutionary movement that seek to destroy capitalism and state using whatever strategy they see fit, that is to understand how the legal system works and how to get around it to ease or makes our imprisoned comrades more confident in their convictions. It also includes the choice that they wanted to make, because it is their choice, not the people/organization/movement have the rights to dictates it to them. Thus, the “unconsciousness” of the wanna-be insurgent wherever they understand the legal consequences of their action. And note this: no movement who are seeking to overthrow the capitalist system seriously are safe from the state backlash. The state is not neutral, police and investigators are not going to save you from their web of law, because they are a mere server or the attack dogs of the rulers and capitalists.

Don’t expect something less, expect and anticipate more repression when you already attack them. Remember, you’re not fighting bullies, you’re fighting a thousand years of an advanced civilization that managed and developed the techniques to control and pacify you each time they consider yourself or your movement a threat.

Continue reading Not Ideological Solidarity but Critical Revolutionary Solidarity: A Personal Reflection of Yogyakarta/Indonesia Anarchist Black Cross (Palang Hitam)*

Malam Penuh Amarah

Oleh: Filippo Argenti

(Tentang Kerusuhan di Perancis Akhir 2005[*])

Ada yang mengetuk dan terus mengetuk tak sabar di pintu kami. Cepat atau lambat kami harus membukanya… Banyak yang tetap bersembunyi, tidak hanya para pengecut, tetapi juga mereka yang terlalu tenang atau terlalu merasa baik-baik saja. Mereka tidak ingin terlibat. Tetapi mereka telah terlibat sebagaimana arus terus menerus membawa mereka dan kedip-kedipan mata mereka sama sekali tak berguna. Bahkan bahasa menjadi tak berguna secara menyedihkan, bahasa terlahir dari dunia lama, dengan dikorbankannya yang lama, maka imaji-imaji lama akan tergantikan oleh era baru. Tak ada lagi yang tetap sama; kata-kata lama berjatuhan tumpang tindih karena semuanya tak dapat merayap pada sesuatu yang baru. Ada sebuah tegangan di mana tak ada lelucon, kritik dan kebijaksanaan yang dapat meraihnya. Era borjuis mulai berakhir. Tak seorangpun yang tahu apa yang hadir. Kebanyakan memiliki pandangan yang gelap dan dengan demikian mereka dilecehkan. Massa juga masih memiliki sebuah sensasi kegelapan atasnya tetapi mereka tak mampu mengekspresikan diri mereka dan (juga) masih tertindas. Yang Tua dan yang Baru, oposisi yang tak terdamaikan antara apa yang ada saat ini dan apa yang akan terjadi kemudian, terus saling bertempur, dan bersenjata lengkap mereka berdua melemparkan diri mereka melawan satu sama lain. Debur ombak menghantam bumi. Ini semua bukan hanya persoalan ekonomi; ini semua bukanlah sekedar sebuah pertanyaan tentang makan, minum dan menghasilkan uang. Ini bukanlah sekedar permasalahan bagaimana kemakmuran didistribusikan, tentang siapa yang akan bekerja dan siapa yang akan tereksploitasi. Tidak, apa yang terjadi saat ini benar-benar berbeda: ini adalah segalanya.

(Kurt Tucholsky, Weltbűhne, 11 Maret 1920)

Continue reading Malam Penuh Amarah

Menakar Demokrasi: Sebuah Perspektif Anarkis

Belakangan terjadi kesalahpahaman mendasar perihal bagaimana kaum anarkis memahami demokrasi. Secara tegas, kaum anarkis bukanlah prodemokrasi atau sekadar penyokong demokrasi-langsung maupun jenis demokrasi radikal lainnya. Demokrasi sebagai suatu konsep modern mengenai pemerintahan politik, yang mendasari konsepnya melalui “aspirasi kekuasaan politik mayoritas”, bukanlah sesuatu yang anarkis. Dengan diiringi riuhnya ajang Pesta Demokrasi, banyak kaum radikal terbelit gaung kaum kiri nasional untuk bepartisipasi bersama elit-elit politik, untuk “merayakan demokrasi”, bahkan beberapa kaum anarkis menganggap diri mereka sebagai aktivis prodemokrasi. Dalam situasi demikian, penting bagi kami untuk menyebarkan tulisan ini sebagai suatu kritik total atas demokrasi—dalam bentuknya yang langsung maupun yang terwakilkan.

Definisi Demokrasi

Demokrasi merupakan sebuah teori pemerintahan di mana hukum, dalam pengertian luasnya, merefleksikan keinginan mayoritas yang ditentukan melalui pemilihan langsung maupun melalui perwakilan. Secara umum, demokrasi terlegitimasi melalui pengadopsian suatu konstitusi, yang melegalisasikan aturan-aturan mendasar, prinsip, tugas, dan kekuasaan dari pemerintah serta aturan dan hak individual terhadap pemerintah. Aturan yang disebut terakhir diadakan untuk melindungi individu dari kekangan mayoritas “demokratis”, sebuah konsep yang dikembangkan oleh republikanisme selama digulingkannya monarkisme.

Continue reading Menakar Demokrasi: Sebuah Perspektif Anarkis

Ketakutan Akan Konflik

Kapanpun beberapa anarkis dalam jumlah cukup banyak berkumpul bersama, terjadi adu argumentasi. Hal ini tidak mengejutkan, semenjak kata “anarkis” digunakan untuk mendeskripsikan sebuah ranah luas yang yang sering berisi ide-ide dan praktik yang saling berkontradiksi. Satu-satunya yang menyamakannya adalah hasrat untuk menyingkirkan otoritas, dan para anarkis bahkan tidak selalu setuju pada apa itu otoritas, seperti apa metoda yang dirasa tepat untuk menghapuskannya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mendorong hadirnya (pertanyaan-pertanyaan) lain, dan karenanya argumentasi tak terelakkan.

Argumentasi tidak menggangguku. Apa yang menggangguku adalah fokus pada sebuah upaya untuk selalu tiba pada sebuah persetujuan. Diasumsikan bahwa “karena kita semua adalah anarkis”, kita semua harus menginginkan hal yang sama; konflik-konflik yang terjadi pasti adalah ketidakpahaman yang dapat diselesaikan dengan cara membicarakannya, dengan menemukan ranah bersama. Saat seseorang menolak untuk membicarakannya dan tetap bersikukuh memantapkan perbedaannya, mereka dianggap dogmatis. Keteguhan dalam menemukan ranah bersama mungkin saja menjadi sumber-sumber yang paling signifikan dari dialog tanpa akhir yang seringkali hadir saat kita beraksi dalam menciptakan hidup kita dalam terminologi kita sendiri. Usaha untuk menemukan sebuah ranah bersama mencakup sebuah pengingkaran terhadap konflik-konflik yang nyata.

Continue reading Ketakutan Akan Konflik

Terbuangnya Manusia dari Taman Firdaus

Seluruh kehidupan di atas planet yang semakin tak nyaman ini diatur oleh sistem ekonomi global yang mendasari dirinya pada uang, profit dan pertukaran–kapitalisme. Secara virtual, segala sesuatu memiliki harga–makanan, minuman, tanah, rumah, tumbuhan, binatang, kerja manusia. Mereka yang tak mampu membayar tak akan diperbolehkan mendapatkannya, bahkan apabila konsekuensi dari ketidakmampuan tersebut adalah kematian.

Bagi mayoritas manusia konsekuensinya adalah bahwa hidup menjadi didominasi oleh kerja, sekolah yang menghabiskan setengah usia seseorang, pabrik, kantor, pasar dan penjara. Bagi banyak orang ini berakibat pada kemiskinan, perang dan berbagai bentuk penindasan lainnya. Tetapi toh manusia bukan satu-satunya yang terjebak dalam jejaring mengerikan ini. Segala jenis spesies menjadi subyek pengaplikasian industri yang berujung pada kesengsaraan dan kematian alam liar, bahkan juga, kepunahan.

Telah jelas bahwa apa yang dialami oleh manusia, dialami juga oleh spesies lain yang hidup di atas bumi, semua juga terjadi atas sumber yang sama, sistem produksi dan pertukaran yang juga sama. Dalam tulisan berikut ini, akan berusaha dipaparkan bahwa sistem yang mengeksploitasi manusia saat ini adalah sistem yang sama yang lahir dari penghancuran atas spesies lainnya, atas ekologi secara keseluruhan. Dengan demikian, diharapkan gerakan yang berupaya mengabolisi kapitalisme akan menyadari sepenuhnya bahwa itu adalah berarti juga mengubah relasi tak hanya antarmanusianya saja, tetapi juga antara manusia dengan alamnya.

Continue reading Terbuangnya Manusia dari Taman Firdaus

Primata, evolusi, anarki(sme) (Bagian 1)

Tanggapan
atas Bima Satria Putra 
[2]   (Anarkis.org)

Oleh: Terrik Matahari

Pendahuluan

Membaca tulisan Bima yang berjudul: “Primata, Hierarki, Revolusi” membuat saya sampai pada kesimpulan bahwa Bima tidak mengerti dengan apa yang ditulisnya. Kenapa? Pertama, dengan menggunakan cocokologi Bima berusaha mengait-ngaitkan perilaku sosial simpanse dengan perilaku sosial manusia, lebih buruk lagi dengan mengatakan perilaku agonistik simpanse sebagai upaya pembebasan. Ini aneh karena ia sendiri mengatakan bahwa ada sistem hierarki pada kelompok simpanse. Kedua, dengan mengklaim diri sebagai seorang darwinian, Bima mereduksi evolusi hanya pada mekanisme seleksi alam. Dalam sub-judul kedua (Belajar Dari Primata) alih-alih menjelaskan apa saja yang dapat dipelajari, Bima malah menjelaskan secara serampangan soal evolusi. Karakter reduksionis dalam tulisannya hampir ditemukan dalam keseluruhan teks. Ketiga, dengan menggunakan judul yang genit dan teks layaknya jargon aktivis, Bima jatuh pada glorifikasi anarki(sme). Ini adalah semangat idealisme buta atas anarki(sme). Jujur, saya menemukan spirit mesianistik ditulisan tersebut, seakan-akan anarki(sme) adalah nubuat dan Bima adalah nabinya.

Namun saya secara pribadi berterimaksih pada Bima yang lewat artikelnya telah memberikan ruang untuk diskusi, meskipun membutuhkan waktu hampir 6 bulan untuk menuliskan tanggapan sejak artikelnya dipublikasi. Saya pertama kali membaca artikel ini akhir Februari 2017, beberapa hari sebelum keberangkatan menuju 2 kepulauan paling utara Sulawesi. Terbatasnya waktu menyebabkan kesempatan menuliskan tanggapan ini tidak kesampaian. Beberapa minggu yang lalu, akhirnya tanggapan ini bisa dituliskan. Saya memulainya dengan gambaran singkat soal primata dan etologi, dalam upaya mengenal–meminjam kalimat Bima–“saudara jauh kita”.

Continue reading Primata, evolusi, anarki(sme) (Bagian 1)