Kapanpun beberapa anarkis dalam jumlah cukup banyak berkumpul bersama, terjadi adu argumentasi. Hal ini tidak mengejutkan, semenjak kata “anarkis” digunakan untuk mendeskripsikan sebuah ranah luas yang yang sering berisi ide-ide dan praktik yang saling berkontradiksi. Satu-satunya yang menyamakannya adalah hasrat untuk menyingkirkan otoritas, dan para anarkis bahkan tidak selalu setuju pada apa itu otoritas, seperti apa metoda yang dirasa tepat untuk menghapuskannya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mendorong hadirnya (pertanyaan-pertanyaan) lain, dan karenanya argumentasi tak terelakkan.
Argumentasi tidak menggangguku. Apa yang menggangguku adalah fokus pada sebuah upaya untuk selalu tiba pada sebuah persetujuan. Diasumsikan bahwa “karena kita semua adalah anarkis”, kita semua harus menginginkan hal yang sama; konflik-konflik yang terjadi pasti adalah ketidakpahaman yang dapat diselesaikan dengan cara membicarakannya, dengan menemukan ranah bersama. Saat seseorang menolak untuk membicarakannya dan tetap bersikukuh memantapkan perbedaannya, mereka dianggap dogmatis. Keteguhan dalam menemukan ranah bersama mungkin saja menjadi sumber-sumber yang paling signifikan dari dialog tanpa akhir yang seringkali hadir saat kita beraksi dalam menciptakan hidup kita dalam terminologi kita sendiri. Usaha untuk menemukan sebuah ranah bersama mencakup sebuah pengingkaran terhadap konflik-konflik yang nyata.
Satu strategi yang seringkali digunakan untuk mengingkari konflik adalah dengan mengklaim sebuah argumen hanyalah sebuah ketidaksetujuan atas kata-kata dan artinya (berkutat di sekitar penggunaan kata semata). Seakan-akan kata-kata yang digunakan seseorang dan bagaimana seseorang memilih menggunakan kata-kata tersebut tak ada kaitannya dengan apa yang seseorang tersebut idekan, impikan dan hasratkan. Aku sadar bahwa memang ada beberapa argumentasi yang terjadi hanya karena perbedaan kata dan artinya. Argumentasi demikian akan dapat diselesaikan dengan mudah apabila individu-individu yang terlibat dengan jelas dan tepat menjelaskan apa yang mereka maksudkan. Saat individu-individu tak dapat menemui persetujuan pada kata yang digunakan dan bagaimana menggunakannya, hal tersebut mengindikasikan bahwa apa yang mereka impikan, hasrati dan cara berpikirnya berpisah sangat jauh bahkan dalam satu bahasa yang sama, mereka tak dapat menemui sebuah kesamaan lidah. Usaha untuk mereduksi friksi ini ke dalam sekedar persoalan semantik adalah sebuah upaya untuk mengingkari sebuah konflik utama dan keunikan individu-individu yang terlibat di dalamnya.
Pengingkaran atas konflik dan keunikan individu biasanya merefleksikan sebuah fetish atas persatuan yang hadir dari residu Kiri dan kolektivisme. Persatuan selalu diagungkan oleh kaum Kiri. Semenjak kebanyakan anarkis, mengesampingkan usaha mereka untuk membedakan diri mereka dari kaum Kiri, biasanya sekedar menjadi Kiri yang anti-negara, tetapi mereka tetap percaya bahwa hanya sebuah front persatuan yang dapat menghancurkan masyarakat ini, yang akan mendorong kita untuk bersatu tidak berdasar pada pilihan kita, dan karenanya kita harus melampaui perbedaan-perbedaan kita dan bersatu bersama mendukung “program bersama”. Tapi saat kita memberikan diri kita pada “program bersama”, kita dipaksa untuk menerima perjuangan dan pemahaman yang paling rendah. Persatuan yang diciptakan dengan cara ini adalah sebuah persatuan palsu yang hanya dapat hadir dengan cara merepresi hasrat dan gairah yang unik dari tiap individu yang terlibat, mentransformasikan mereka ke dalam sebuah massa. Beberapa persatuan tidak berbeda dengan cara pembentukan buruh yang mampu membuat pabrik tetap berjalan atau persatuan sebuah konsensus sosial yang membuat otoritas tetap berkuasa dan rakyat tetap diatur. Persatuan massa, sebab hal tersebut berdasar pada reduksi individual ke dalam sebuah unit umum, tak pernah dapat menjadi sebuah basis bagi penghancuran otoritas, melainkan hanya dukungan bagi bentuk otoritas yang lain. Semenjak anarkis ingin menghancurkan otoritas, kita harus memulainya dari sebuah basis yang berbeda.
Bagiku, basisnya adalah diriku sendiri—hidupku dengan seluruh gairah dan mimpi, hasrat, proyek dan musuhnya. Dari basis ini, aku tak membuat “program bersama” dengan siapapun, dan akan secara berkala bertentangan dengan individu-individu yang bahkan berafiniti dengan kita. Bukan tak mungkin apabila hasrat dan gairahmu, impian dan proyek-proyekmu bertentangan dengan milikku. Dilengkapi dengan dorongan untuk merealisasikan hal-hal yang saling beroposisi tersebut, beberapa afiniti lantas menjadi sebuah persatuan yang sesungguhnya antara individu-individu insurgen dan unik yang mana akan dapat bertahan hanya selama individu-individu yang tergabung di dalamnya inginkan. Jelas, hasrat untuk merusak otoritas dan masyarakat dapat menggerakkan kita ke dalam sebuah persatuan insureksioner yang menjadi skala besar, tetapi tak akan pernah menjadi sebuah gerakan massa; melainkan hal tersebut akan menjadi pertemuan afiniti antarindividu yang bersikukuh membuat hidup mereka menjadi milik mereka kembali. Bentuk insureksi seperti ini tak dapat hadir melalui sebuah reduksi ide-ide ke dalam tingkatan rendah yang dapat disetujui oleh setiap orang, melainkan melalui sebuah kesadaran bahwa tiap individu itu unik, sebuah kesadaran yang merengkuh konflik-konflik yang ada yang eksis antar individu, tak peduli seberapa tajam konflik tersebut jadinya, tetaplah menjadi kekayaan yang menakjubkan dari sebuah interaksi yang ditawarkan oleh dunia pada kita begitu kita mampu mendorong diri kita keluar dari sistem sosial yang telah mencuri hidup dan interaksinya dari diri kita selama ini.