Menyambut Gairah sang Iblis dan Meniadakan Harapan

:

Catatan: Tulisan ini tadinya merupakan introduksi lima halaman untuk sebuah buku yang berisi terjemahan dari teks-teks Bakunin yang berasal dari buku No Gods No Masters. Tapi, karena sudah hampir dua tahun belum ada tanda-tanda realisasi buku itu akan diterbitkan, penulis memutuskan untuk mengirim tulisan ini untuk diposting di blog ini. Selamat membaca!  
“Una Salus Victis Nullam Sperare Salutem” –  Vigil, The Aeineid
(Satu-satunya harapan bagi mereka yang ditaklukan adalah untuk tidak berharap sama sekali)

Tak ada satupun ideologi, apalagi yang ditelurkan pada abad-abad yang telah lalu, dapat menyelamatkan manusia dari ‘kutukannya sendiri’: peradaban kapitalisme. Mikhail Bakunin, seorang revolusioner Rusia dan bapak dari anarkisme-kolektivis, sebagai salah satu murid Hegel yang baik percaya bahwa kemajuan kolektif dari umat manusia merupakan suatu-satunya jalan menuju penyelamatan manusia dari kutukannya sendiri. Ia membuat perjanjian dengan sang Iblis guna menghabisi segenap rezim keilahian yang bertahta di muka bumi. Sang Iblis menganugerahinya gagasan tentang kesetaraan antar-manusia yang universal dan bagaikan api Prometheus, Bakunin menabuh genderang perang terhadap setiap ‘istana’ kekuasaan ilahi yang termanifestasi dalam bentuk negara-bangsa, otoritarianisme, dan beragam rezim ketuhanan yang selalu saja berkhotbah tentang penyelamatan bagi umat manusia, penyelamatan yang hanya dapat dilakukan oleh segelintir malaikat suci, seperti halnya ketika Nabi Musa yang “memimpin” kaum Yahudi untuk membebaskan diri dari perbudakan Firaun.

“Pemberontakan pertama adalah melawan tirani mutlak dari teologi, bayangan dari Tuhan. Selama kita mempunyai seorang majikan di dalam surga, maka kita akan menjadi budak di atas bumi.”

Dengan begitu, sang Iblis memberinya warisan sejarah yang akan terus bergaung hingga sekarang. Komune Paris 1871 pecah, sahabat-sahabat dekatnya, seperti Tolain dan Varlin, merupakan orang berpengaruh di Komune Paris. Sejumlah anggota Internasionale Perancis, termasuk Eugene Varlin, menerapkan gagasan kolektivisme Bakunin dan gagasan-gagasan federasi dan mutualis dari Proudhon. Pada saat ini juga Marx menulis surat pada Varlin, sebagai salah satu pimpinan Komune, namun anjuran-anjuran Marx sama sekali tidak direspon, sama seperti upayanya yang gagal pada tahun-tahun sebelumnya untuk mengambil pengaruh anggota Internasionale di Perancis.

Komune Paris 1871 menjadi satu percontohan sejarah tentang bagaimana masyarakat yang diatur dari bawah ke atas dan dikontrol oleh rakyat itu sendiri—tanpa adanya negara dan gereja!—menjadi sesuatu yang mungkin dan bukan sekadar utopia semata. Namun, sang Iblis hanya memberi Bakunin satu kesempatan. Komune pun luluh-lantak dalam rentang waktu beberapa bulan, ketika Ia dikepung oleh pasukan Prussia dan para penguasa lokal yang telah kembali menduduki Versailles. Kerajaan Allah telah bersekongkol melawan kemanusiaan. Para Communard (sebutan bagi orang-orang Komune Paris, khususnya mereka yang terlibat sampai titik darah penghabisan), yang menolak untuk menyerah, dihabisi tanpa ampun, dan Paris pun menjadi kuburan massal para Communard.

Apakah sang Iblis telah meninggalkan Bakunin? Sang Iblis yang Ia juluki sebagai pemberontak pertama, sebagai anti-tesis dari ketuhanan, sang Iblis yang telah memberikannya kekuatan negatif yang begitu besar. Namun demikian, sang Iblis juga tak pernah menjanjikan apapun. Tak ada kata harapan dalam kamus sang Iblis. Bakunin memahami ini. Oleh karena itu, dalam setiap petualangan, pemberontakan, dan pelarian-nya dari penjara Rusia yang fenomenal itu, Bakunin tidak menaruh harapan pada apapun selain dirinya sendiri.

Ketika Sang Iblis dan Bakunin Telah Pergi

Dalam pencarian kita akan penyelamatan dari setiap absurditas dunia modern, atau apa yang disebut Bakunin sebagai majikan surgawi yang menguasai bumi, yang mengancam eksistensi kita setiap harinya, hal yang harus kita hilangkan sama sekali  adalah berharap untuk mendapatkan penyelamatan. Apa yang harus kita cari, sebagaimana yang ditemukan Bakunin, adalah gairah atau penemuan kembali dari gairah. Sejumlah individu telah menemukan dan menjadikan gairah sebagai senjata yang paling berbahaya untuk melawan dunia yang menghamba pada uang dan otoritas. Bakunin dan Courderoy, para iblis abad 19, mengungkapkan suatu “gairah kejam yang bebas dari belenggu apapun.”

Coba kita dengar bisikan Coeurderoy: “..Harapan kita adalah banjir bandang dari manusia; masa depan kita adalah kekacauan, kita tidak bisa mengharapkan apapun selain perang besar-besaran yang menggabungkan segala jenis ras manusia dan meluluh-lantakan setiap relasi yang stabil. Kita harus mengambil-alih alat yang dipegang penguasa, alat yang mereka gunakan untuk meniadakan kebebasan secara berdarah-darah. Kita membuat revolusi, kita menginspirasikan fondasi-fondasinya; sehingga pedangnya menusuk ke dalam organisme masyarakat dan tak ada satupun orang yang bisa menghindarinya! Sehingga ombak manusia menjadi berkecamuk dan ganas. …properti tidak akan lagi menjadi hal yang sakral; Dalam benturan senjata, pedang akan bergema lebih kuat daripada uang; Ketika semua orang akan berjuang untuk tujuannya sendiri, sehingga tidak ada seorangpun yang perlu diwakili; Di tengah kebingungan untuk bersilat-lidah, mereka, para pengacara, jurnalis dan para diktator opini telah kehilangan kemampuannya untuk berceramah. Di antara jari-jari bajanya, revolusi menghancurkan semua simpul Gordian; Tanpa kompromi akan hak istimewa, tanpa rasa kasihan akan kemunafikan, tanpa rasa takut dalam peperangan, tanpa menahan gairah, sehingga menjadi sangat bersemangat dengan kekasihnya dan tak kenal ampun dengan musuhnya. Atas nama tuhan! Ayolah kita lakukan  dan nyanyikan puja-pujinya seperti pelaut yang menyanyikan topan laut, majikannya! “

 

Coeurduroy menihilkan harapan untuk menyambut gairah sepenuhnya, seperti halnya kita menyambut diktum terkenal Bakunin: “Gairah merusak adalah gairah yang kreatif.”

Ketika Bakunin bersabda mengenai revolusi sebagai sebuah festival dimana setiap partisipannya mabuk massal (sebagiann mabuk oleh karena “teror kegilaan”, sementara yang lainnya seperti dirasuki oleh ekstase”) dan seolah-olah dunia sudah jungkir-balik, apa yang tadinya dianggap perkasa sekarang menjadi biasa saja, apa yang tadinya dianggap mustahil telah menjadi mungkin,” dan sabda Bakunin ini bukanlah metafora.

Roberty Caillois, dalam esainya, menganalisa makna dari festival yang dimaksud, berbicara tentang “sesuatu yang mendorong seseorang untuk meninggalkan diri sendiri, tanpa kontrol, terhadap dorongan yang paling tidak masuk akal.” Menggambarkannya sebagai “ledakan bertahap”, cendekiawan Prancis tersebut menjelaskan bagaimana festival tersebut “hadir sebagai dunia lain bagi individu, di mana dia merasa dirinya didukung dan diubah oleh kekuatan yang telah mempengaruhinya. “Tujuannya adalah untuk “memulai penciptaan dunia lagi.” “Kosmos telah muncul dari kekacauan “- tulis Caillois. Zaman Keemasan menjawab konsepsi dunia ini tanpa perang dan tanpa perdagangan, tanpa perbudakan dan tanpa hak milik pribadi. “Tapi dunia cahaya ini, sukacita yang tenang, tentang kehidupan yang sederhana dan bahagia” – Caillois mengklarifikasi lebih jauh – “pada saat yang sama merupakan dunia yang penuh gairah dan kreasi yang kacau, dari hasil yang mengerikan dan berlebihan.”

Di sini ini saya sengaja untuk tidak memaparkan biografi Bakunin, meski secara singkat. Sudah terlalu banyak biografi soal Bakunin (hanya mereka yang terlalu malas yang tidak bisa memahami hal ini) dan ketika saya menulis pengantar ini, terjemahan God and State sudah beredar dan juga dimulai dengan kata pengantar mengenai siapakah Mikhail Bakunin itu. Sejak lama orang Kiri selalu menganggap bahwa anarkisme itu berarti bakuninisme, bahwa seorang anarkis itu sudah pasti pengikut Bakunin. Ya, jelas karena ideologi mereka memang berasal dari tokoh-tokoh dan oleh karena itu mereka, kaum Kiri, yang memang referensi-nya saja sangat miskin dan cuma itu-itu saja, takkan pernah bisa memahami anarkisme sebagai sebuah gagasan yang dimiliki bersama sepanjang sejarah. Tak ada pakem di situ. Kita akan “membakar kuburan Bakunin” kalau perlu, tapi toh naskah yang Ia tulis, hidupnya yang spektakuler, tak pernah mengindikasikan pakem-nya atas anarkisme. Penyair era Romantik, Shelley, seorang anarkis yang sangat terinspirasi oleh William Godwin yang lanjut hari kawin lari bersama anak Godwin, Mary Shelley (penulis novel Frankenstein), dalam puisinya Ode to the West Wind, merapal mantra tentang kehancuran:

Wild Spirit, which art moving everywhere;

Destroyer and Preserver; hear, O hear!

Shelley menggambarkan Angin Barat sebagai “Semangat Liar” yang ada di mana-mana pada waktu yang bersamaan. Angin Barat adalah “sang penghancur”dan juga sang “pemelihara”; Ia membawa kematian musim dingin, tapi juga memungkinkan regenerasi musim semi. Seperti halnya penghancuran yang memungkinkan untuk sebuah penciptaan sesuatu yang baru, Oh, dengarkah kau Bakunin, dari alam kuburmu? Angin Barat telah menanti.

Relevansi Bakunin Hari Ini

Bakunin menyerukan “pemberontakan hidup melawan sains, atau lebih tepatnya melawan pemerintahan sains. Tapi dia menjelaskan bahwa yang dia maksud adalah “tidak menghancurkan sains – itu akan menjadi pengkhianatan yang tinggi bagi manusia – tapi untuk mengingatkan sains untuk kembali ke tempatnya.” Mengajarkan sains ke tempat yang seharusnya berarti menghapuskan hubungan hierarkis antara sains dan kehidupan masyarakat. Terhadap monopoli pengetahuan ilmiah yang dilakukan oleh para spesialis kehidupan, Bakunin mendesak sebuah reformasi sains yang menargetkan institusi sosial mapan yang sekaligus mengkonsolidasikan basis kekuatannya dan memperkuat teorinya.

Ketegangan antara mengenali sains sebagai “sangat diperlukan bagi organisasi masyarakat yang rasional” dan untuk menghindari kembalinya rezim dominan dari sains menurut Bakunin satu-satunya solusi adalah: dengan pembubaran sains sebagai makhluk moral yang ada di luar kehidupan semua orang. “Sebaliknya, ilmu pengetahuan” harus disebarkan kepada rakyat”. Sosialisasi sosial sains ini, menurut Bakunin, akan cenderung memecah pemisahan pengetahuan epistemik dari kehidupan: “Ini akan menjadi kenyataan bagi kehidupan langsung dan nyata semua individu.” Melalui proses demokratisasi ini, sains dapat mulai memainkan peran historis aslinya sebagai “milik semua orang”, sains dapat “mewakili kesadaran kolektif masyarakat.

Apa sih yang sebenarnya saya bicarakan di sini? Mencoba memahami Bakunin dan sains? Apa saya mencoba melampaui kemampuan saya sendiri dan disiplin ilmu yang saya mengerti secara khusus? Tentu tidak. Sains sebagai ilmu sifatnya sangat umum, penekanan Bakunin adalah bagaimana Sains tidak lagi menjadi monopoli rezim melainkan untuk kepentingan rakyat. Marx dan Engels pernah berkilah (atau lebih tepatnya kalimat apologis mereka): “We know only a single science, the science of history”. Ok, saya beli itu Tuan Marx dan seperti yang baru-baru ini ditemukan oleh sejumlah kawan, perihal pengaruh golongan Bakunin di Indonesia, khususnya dalam peristiwa Keputusan Prambanan. Keputusan yang memicu pemberontakan spontan di berbagai daerah melawan kekuasaan kolonial yang, menurut Ruth Mcvey, merupakan pengaruh dari para anarkis di tubuh Serikat Rakyat. Atau dari catatan S.Digley (nama pena dari Iwa Koesoemasoemantri) Peasant Movement in Indonesia:

“Moreover, both in Communist Party and Sarikat Raiat, very strong anarchist deviations are observable. Many comrades reads the works of Bakunin instead of those of Marx.”

Dari Ruth Mcvey sendiri, pemberontakan semacam itu di tubuh PKI menjadi mungkin karena struktur organisasinya yang sangat desentralis dan federatif. Lebih jauh lagi, mari kita simak tulisan dari spesies kiri Indoprogress mengenai Keputusan Prambanan dan apa yang melatar belakangi pemberontakan yang berapi-api dan spontan ini:

“Situasi sebelum pemberontakan memang mendidih. Pemogokan buruh terjadi di berbagai lokasi. Di Semarang, Surabaya, Jakarta dan Medan, buruh melumpuhkan pabrik. Sampai Mei 1925, tercatat 65 kali pemogokan dengan melibatkan tiga ribu anggota komunis. Surat kabar revolusiner seperti Api, Merdeka, Proletar, Halilintar, dan Guntur, semakin gencar menyerang pemerintahan. Pun, kaum tani tak ketinggalan”. – Ragil Nugroho”

Pemogokan umum (Ingat tulisan Rosa Luxemburg soal pemogokan?), dari mana para organisator buruh ini mendapatkan gagasan mengenai perjuangan ekonomi? Dan bukannya mengikuti gagasan Marx dan para penerusnya perihal perjuangan politik. Pada tahun-tahun berikutnya, khususnya dalam tulisan Bennedict Anderson dalam buku Revolusi Pemuda, terdapat indikasi yang cukup jelas

“kabinet bukan hanya ingin sekali mencegah dukungan buruh kepada suatu partai saingan, melainkan, yang lebih penting, sangat cemas akan implikasi politik dari gagasan PBI yang sindikalis itu.”

Paragraf sebelumnya memaparkan sesuatu yang lebih jelas mengenai hal ini paska kemerdekaan 1946: “Ia (PBI) mulai menyebarkan gagasan-gagasan sindikalis: instalasi-instalasi industri yang diambil alih oleh buruh harus tetap menjadi milik buruh, bukan milik pemerintah.”

 

Kebanyakan “ketua” Komunis atau para tokoh Kiri–seperti  Tan Malaka (nabi-nya orang kiri kontemporer di Indonesia)—ketika Keputusan Prambanan memufakatkan pemberontakan massif, justru mengutuk keputusan tersebut, bahkan Tan Malaka berupaya untuk menyabotasenya.

Temuan-temuan terbaru dari apa yang disebut “ilmu sejarah” ini memberikan secercah cahaya bagi mereka yang sudah lelah dengan jargon-jargon repetitif kaum Kiri modern dan mencari opsi atau alternatif yang mungkin saja lebih baik. Ilmu sejarah, seperti apa yang dipaparkan Bakunin,mesti menjadi milik kolektif dari masyarakat. Unsur-unsur kegagalan maupun keberhasilannya seharusnya memang dipaparkan secara adil, tapi sebagaimana yang diramal oleh Bakunin mengnenai monopoli atas sains, khususnya ilmu sejarah, maka dalam konteks sekarang yang bisa kita elu-elukan adalah para tokoh-tokoh dan bukannya mereka yang angkat senjata tanpa menunggu penyelamatan dari orang lain atau malaikat palsu lainnya. misteri-misteri kehidupan terus disampaikan dari generasi ke generasi, dalam pengalaman sarat makna yang seolah melampaui waktu itu sendiri. Pengalaman dan ingatan ini bisa saja dipalsukan, disembunyikan, dilupakan, sementara waktu terus berputar di sekitar kita, seperti halnya hantu-hantu Bakunin yang ternyata pernah bergentayangan di setiap  hiruk-pikuk pertemuan yang membara, solidaritas antar pejuang anti-kolonial, pemogokan para pekerja dan pertempuran sengit para pejuang revolusioner anti-kolonial di era pra-kemerdekaan.

Demikian, selama jantung masih berdetak, akan selalu ada persimpangan jalan yang akan menuntun kita lagi padanya, lagi dan lagi. Bahwa sejarah dihantui karmanya sendiri. Selayaknya kisah dan luka kita yang akan terus melekat melawan tirani waktu.

Namun sang Iblis, tidak seperti Bakunin, tak pernah menjanjikan “penyelamatan”. Ia hanya menawarkan kehancuran dan kekosongan. Oleh karena itu, relevansi kehidupan dan ide-ide yang diwariskan oleh Bakunin justru menolak penokohan berlebihan atas seseorang dan gagasan yang ia miliki. Diktum-nya yang terkenal itu merupakan warisan mengenai penghancuran, seperti halnya insureksi yang melumpuhkan kekuasaan, persoalan bagaimana kita akan mengisi kekosongan setelahnya, terletak pada tangan kita sendiri.

Meski sejarah peradaban selalu saja menuturkan tentang penyelamatan, seperti kisah pemberontakan budak melawan majikannya yang dipimpin oleh Spartakus, atau seorang Lenin yang datang dari pengasingan untuk “menjadi juru selamat kaum revolusioner Rusia”, dan kisah-kisah palsu para mesias kemanusiaan yang menjanjikan penyelamatan bagi seluruh umat manusia. Kisah palsu yang sering membawa kita pada kekecewaan, pengasingan,  pemenjaraan, dan bahkan pembantaian massal. Sang Iblis dan Bakunin menikung narasi ini, bahwa  penyelamatan dan pembebasan hanya dapat diraih oleh manusia yang mempunyai gairah serta keinginan yang kuat. Dari sini, kita dapat memahami bahwa naskah sejarah yang ditulis oleh orang-orang berjenggot di abad 19 bukanlah jawaban untuk permasalahan umat manusia, apalagi mengklaimnya sebagai ide pembebasan yang paling benar (saintifik? Cih!). Pepatah anarkis berbunyi:

 “kamu yang memiliki ide atau ide yang memiliki kamu?”

Akhir kata, meminjam penggalan tulisan Dr. Bones, sang egois-komunis yang juga berprofesi sebagai Tarot Reader, praktisi Okultisme, pemuja Jesus Malverde ketika ia bersabda:

 

“Tidak ada yang datang untuk menyelamatkanmu, kawan.
Tak seorangpun.
Tidak ada revolusi di cakrawala, tidak ada pesta, tidak ada gagasan besar yang pada akhirnya akan membangunkan umat manusia ke potensinya dan membebaskan kita dari rantai kita.
Tidak ada pelopor, tidak ada tujuan, tidak ada metode rahasia yang bisa kita gunakan secara ajaib untuk nmembuat orang berkuasa mengunduran diri.
Ada yang berpura-pura. Ada imam dan mucikari dan allah palsu yang memanggil Anda untuk menyembah mereka. Mereka akan memberi Anda “sains” ilahi dan identitas, mereka akan meyakinkan Anda jika cukup banyak orang yang mengenakan seragam atau mengucapkan kata-kata yang tepat, bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Bahkan ada mereka yang menolak setiap kebebasanmu, yang menolak setiap tindakan ceroboh dan tanpa perencanaan yang matang.  Mereka bertanya: siapa yang akan menjalankan sekolah, siapa yang akan membangun jalan, bagaimana bila ban yang kiita bakar dan blokade yang kita justru meningkatkan jejak karbon kita? Mereka akan menyebut rencanamu, dengan tatapan yang penuh keyakinan, bahwa semua itu tidak praktis, hanya sekadar fantasi pemberontak. Ketika mereka menuturkan semua itu, mereka masih dibuai oleh mimpi, tentang diri mereka yang sangat bijaksana. Sembari mendengkur dan mengigaukan harapan bahwa mereka masih “menunggu orang-orang untuk bangkit.”
Semua orang menunggu dan tidak ada yang mau memulai, semua orang ingin bergabung dan tidak ada yang mau membangunnya. Semua orang sedang menunggu pemberontakan besar, namun bila kamu mencuri sebuah apel atau membakar mobil polisi,  maka mereka akan segera mencapmu kamu sebagai seorang advonturis.
Semua orang sedang menunggu. Menunggu sesuatu. Menunggu seseorang, seseorang untuk menyelamatkan mereka. Kenyataannya adalah, tak ada seorang pun yang akan datang untuk menyelamatkanmu, kamerad. Tak ada sama sekali.
                       Oleh karena itu, sekarang ini segala sesuatunya tertantung aku dan kamu.”